Eksistensi SEMA Nomor 2 Tahun 2023 Dalam Larangan Pencatatan Perkawinan Beda Agama
Oleh: Rifki Ananda
Beberapa bulan yang lalu, beberapa Pengadilan Agama di Indonesia telah memperbolehkan perkawinan beda agama yang kemudian menjadi sumber kontroversi dengan pendapat yang beragam. Namun, kemudian Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang memberikan panduan kepada hakim dalam mengadili perkara-perkara perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan. Hal ini menciptakan berbagai tanggapan pro dan kontra terhadap pelaksanaannya. SEMA tersebut pada intinya mengimbau hakim untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama. SEMA tersebut memberikan petunjuk kepada hakim dalam mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Surat edaran ini diterbitkan sebagai respons terhadap keputusan beberapa Pengadilan Negeri (PN), termasuk PN Jakarta Selatan dan PN Surabaya, yang sebelumnya telah mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama. Prof. Dr. Syarifuddin, S.H., M.H., lebih lanjut dalam pernyataannya, menegaskan bahwa penerbitan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 memiliki tujuan utama untuk memberikan kepastian dan kesatuan dalam penerapan hukum saat mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.[1] Beliau mencatat bahwa terdapat dorongan yang cukup signifikan dari berbagai pihak terkait pengabulan penetapan perkawinan beda agama, sehingga diperlukan suatu arahan hukum yang jelas untuk memandu proses pengadilan.
Namun, hal yang dinyatakan beliau pada realitanya, keputusan MA ini lantas memicu berbagai tanggapan dan kritik hingga dianggap sebagai langkah mundur yang dapat menghambat perkembangan sistem peradilan, Terlebih lagi, beberapa PN sebelumnya telah menunjukkan kemajuan dengan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama, seperti yang terjadi di PN Jakarta Selatan, PN Yogyakarta, dan PN Surabaya. Namun, dengan dikeluarkannya SEMA Nomor 2 Tahun 2023, peluang untuk progresivitas dalam upaya menjamin hak-hak warga negara terkait perkawinan menjadi terbatas. Hal ini tentunya menghilangkan jaminan hak-hak warga negara dari berbagai latar belakang.
Jika kita merunut konstruksi yuridis secara konstitusional, yang menjadi pijakan tertinggi dan fundamental dalam tata hukum Indonesia, maka dapat kita temukan bahwa UUD 1945 memberikan landasan kuat terkait hak untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga sebagai hak asasi manusia. Pemahaman ini diperkuat oleh keberadaan BAB 10 A, khususnya Pasal 28 B ayat (1) yang menegaskan hak asasi manusia.
Hak untuk melangsungkan perkawinan, sebagaimana tercermin dalam UUD 1945, dapat diidentifikasi sebagai hak asasi manusia yang melekat pada individu, bersifat mutlak, dan tidak dapat disangkal. Keterkaitan hak ini dengan prinsip hak asasi manusia lainnya, seperti kebebasan beragama dan kebebasan dari diskriminasi berdasarkan latar belakang tertentu, memperkuat kedudukan dan perlindungan hak ini terhadap setiap warga negara.
Menariknya, pada konteks hak untuk melangsungkan perkawinan, UUD 1945 tidak secara eksplisit melarang perkawinan beda agama. Dalam UU perkawinan, tidak terdapat ketentuan yang secara tegas mengharamkan perkawinan antara pasangan dengan keyakinan agama yang berbeda. Namun, dalam tafsir hukum, larangan atau pembatasan harus diuraikan secara eksplisit dalam perundang-undangan untuk memiliki keberlakuan yang jelas. Dengan kata lain, tanpa adanya ketentuan yang menyatakan larangan tersebut, dapat dianggap bahwa hak untuk melangsungkan perkawinan beda agama tidak secara tegas dihambat oleh hukum.
Hal ini menciptakan sebuah paradoks di mana, walaupun UUD 1945 dan UU perkawinan tidak secara spesifik mengatur larangan perkawinan beda agama, namun ketidakjelasan ini tidak secara otomatis menjamin kebebasan dan perlindungan hak tersebut dalam praktik kehidupan sehari-hari. Dalam kerangka ini, interpretasi dan implementasi hukum menjadi krusial untuk menjamin hak asasi manusia, khususnya hak untuk melangsungkan perkawinan tanpa diskriminasi berdasarkan agama.
Selain itu, tindakan Mahkamah Agung ini juga dianggap bertentangan dengan hukum positif, khususnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan tepatnya pada Pasal 35 dinyatakan bahwa Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Perkawinan yang ditetapkan undang-undang selanjutnya dijelaskan pada penjelasan pasal 35 pada undang-undang tersebut yang dimaknai sebagai perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.
Selain itu bila dikaji lebih jauh, penerbitan SEMA ini juga bertentangan pula dengan Pasal 7 Ayat (2) Reglement op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau dikenal sebagai Peraturan Perkawinan Campuran yang di dalamnya mengatur tentang perkawinan beda agama. Dalam pasal tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa: “Perbedaan agama, bangsa, atau keturunan sama sekali bukan menjadi penghalang terhadap perkawinan.” Melalui isi pasal tersebut, sangat jelas bahwa GHR memperbolehkan adanya perkawinan beda agama.
Dalam konteks pembahasan di atas, timbul pertanyaan yang signifikan mengenai eksistensi Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) sebagai suatu instrumen hukum yang memuat ketentuan baru. Pertanyaan ini merujuk pada kemampuan SEMA untuk menciptakan hukum baru dan mengisi kekosongan hukum yang mungkin terjadi. Dalam hal ini, Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menjadi fokus perhatian, yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk mengeluarkan peraturan pelengkap guna mengatasi situasi atau masalah hukum yang tidak diatur secara rinci dalam undang-undang.
Lebih lanjut di dalam Pasal 79 tersebut menggarisbawahi bahwa Mahkamah Agung dapat mengeluarkan peraturan pelengkap untuk mengisi kekosongan hukum dalam situasi tertentu. Namun, dalam konteks SEMA Nomor 2 Tahun 2023, terdapat argumen yang menyiratkan bahwa peraturan ini tidak sejalan dengan pasal tersebut. Sebab, ketentuan mengenai pencatatan perkawinan beda agama telah diatur secara eksplisit dalam undang-undang, sehingga tidak dapat dianggap sebagai suatu fenomena kekosongan hukum.
Analisis ini menciptakan dilema terkait peran SEMA dalam menciptakan hukum baru. Sementara beberapa pihak mungkin berpendapat bahwa SEMA memiliki kewenangan untuk mengatur aspek-aspek hukum yang belum cukup rinci dalam undang-undang, argumen sebaliknya mengemuka bahwa jika suatu aturan sudah diatur dalam undang-undang, peran SEMA dalam menciptakan hukum baru menjadi kurang jelas.
Pertanyaan mengenai eksistensi dan kewenangan SEMA ini menjadi bagian dari diskusi yang lebih luas tentang keseimbangan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam menciptakan dan menerapkan hukum. Sementara eksistensi SEMA dapat diartikan sebagai upaya Mahkamah Agung untuk memberikan arahan dalam menghadapi situasi konkret, penting untuk mengkaji apakah hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan keseimbangan kekuasaan di dalam sistem hukum Indonesia.
Larangan terhadap pencatatan perkawinan beda agama dalam SEMA tersebut menimbulkan beragam pendapat tentang konsistensi hukum dan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta hak-hak asasi manusia. Kontroversi ini membuka ruang diskusi luas di masyarakat, di mana berbagai pihak termasuk advokat hak asasi manusia, kelompok agama, dan aktivis progresif menyuarakan keprihatinan terhadap dampak dari keputusan MA ini terhadap keadilan dan hak-hak konstitusional warga negara. Perdebatan intens diharapkan dapat membawa pemahaman yang lebih mendalam tentang isu ini dan memotivasi upaya-upaya untuk memperjuangkan hak-hak individu yang terancam oleh kebijakan ini.
[1] https://jdih.mahkamahagung.go.id/legal-product/sema-nomor-2-tahun-2023/detail