Urgensi Judicial Review terhadap Sistem Otoritas IKN dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 sebagai Langkah Preventif Menghadapi Potensi Executive Heavy

--

Oleh: Marasi Tua Sinaga

Penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara sebagai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 pada tanggal 18 Januari 2022 oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah telah menciptakan sebuah momentum bersejarah bagi Indonesia. Dengan disahkannya UU IKN, Indonesia secara resmi akan memiliki Ibu Kota Negara (IKN) baru yang menggantikan Jakarta. Pembentukan UU IKN ini memberikan dasar hukum yang melegitimasi pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

Wacana pemindahan ibu kota negara tidak hanya muncul pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, wacana mengenai pemindahan ibu kota negara sudah ada sejak masa pemerintahan Presiden Sukarno. Rencana pemindahan ibu kota negara juga kembali muncul pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang menyatakan bahwa Jakarta tidak lagi bisa merepresentasikan ibu kota negara sehingga memerlukan wilayah baru. Presiden Soeharto kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1997 mengenai pengembangan daerah Jonggol.[1]

Akan tetapi, Pengesahan UU IKN tidak serta merta dapat diterima oleh masyarakat luas khusunya para para praktisi hukum terutama mengenai sistem otorita yang terdapat dalam status quo. Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Muhammad Nur Sholikin mengatakan penyelenggara urusan pemerintahan di daerah ibu kota negara bakal menggunakan konsep otorita. Otorita ini diatur dalam Pasal 5 UU IKN. Sayangnya, pengaturan otorita di ibu kota negara sebagai penyelenggara urusan pemerintahan tidak tepat dari aspek konstitusi atau pemerintahan daerah.[2] Senada dengan hal tersebut ada setidaknya 2 hal yang menjadi problematika utama terkait sistem otorita IKN dalam status quo.

1. Konstitusionalitas Otorita IKN

Pemerintah menggunakan landasan Pasal 18 B Ayat (1) UUD 1945 dalam membentuk Badan Otorita Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Pasal itu berbunyi, ”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahandaerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang- undang. Namun, pasal tersebut adalah bentuk rekognisi. Maksudnya, sebuah daerah yang sudah terbentuk kemudian diberikan status kekhususan dan keistimewaan oleh negara dan ini jelas berbeda dengan konsep IKN yang kekhususannya diberikan sebelum terbentuknya IKN. Terdapat salah interpretasi dan implementasi dalam menyatakan status kekhususan ototita IKN.

Konsep Otorita IKN berpotensi tidak sejalan dengan paradigma pemerintahan daerah sesuai desain konstitusional sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 18 UUD NRI Tahun 1945. Karena rumusan konstitusionalnya mengatur, konsep, struktur, bentuk serta mekanisme secara baku dan diatur dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) sampai ayat (7).[3]

Hal demikian itu menjadi sangat sulit secara teknis ketatanegaraan jika pemerintah dan DPR RI mencoba untuk membangun rumusan serta konsep lain dengan metode ekstensifikasi atau perluasan makna selain dari teks konstitusi yang ada dengan menjadikan pijakan konstitusi untuk memaknai konsep Otorita seolah-olah masih berada dalam rumpun serta ekosistem konsep pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam UUD 1945 saat ini.[4]

Rumusan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat 1 UUD 1945 tersebut, mengatur tentang pembagian dan susunan tata pemerintahan daerah Indonesia. Pembagian pemerintahannya terdiri dari Provinsi, Kabupaten dan Kota, sebagaimana diatur UU dan ini jelas sangat berbeda dengan pasal 4 ayat 1 UU IKN yang dimana bentuk IKN adalah otorita. Kemudian Pasal 18 ayat (3), menjelaskan perumusan bahwa Pemda Provinsi, Kabupaten dan Kota, memiliki DPRD, yang anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu) dan ini sangat berlawan ketika kita menelisik pasal 13 ayat 1 UU IKN yang dimana secara implisit dapat kita lihat bahwa tidak adanya DPRD dalam sistem otorita IKN. Selanjutnya, ketentuan sebagaimana terdapat dalam Pasal 18 Ayat

(4) mengatur bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota, sebagai kepala pemerintahan dipilih secara demokratis, yang diamanahkan menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang dalam UU ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat dan ini berbeda dengan pasal 5 ayat 4 UU IKN yang menyatakan pemilihan dan pemberhentian Kepala Otorita dilakukan oleh Presiden dengan berkonsultasi dengan DPR.

Dengan demikian, jika mendasarkan pada studi hukum tata negara berdasarkan original intent, maka sejatinya UU IKN merupakan produk legislasi yang inkonsititusiondal serta tidak kompatibel dengan makna dan paradigma yang telah diatur dalam dalam ketentuan pasal 18 UUD NRI Tahun 1945.

2. Sistem Otorita IKN dalam status quo Menimbulkan Executive Heavy

Konsep ‘Executive Heavy’ didefinisikan dengan pemahaman bahwa Presiden memegang kewenangan yang tidak terbatas, sehingga pengaruhnya mencakup legislatif dan yudikatif. Kewenangan eksekutif dianggap lebih dominan dibandingkan dengan cabang kekuasaan lainnya. Mengutip pendapat Lord Acton tentang konsep kekuasaan “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” yang artinya kekuasaan cenderung korup dan kekusaan yang mutlak sifatnya merusak. Ketika terdapat kewenangan yang tidak terbatas dan tidak dibatasi maka akan menimbukan penyalahgunaan kekuasaan seperti yang berlangsung selama 32 tahun rezim orde baru. Executive Heavy ini sangat berkaitan dengan konsep sistem otorita IKN yang ada pada status quo. Ketika kita menilisik pada pasal 5 ayat (2) UU IKN ditentukan bahwa penyelenggaraan pemerintahan IKN hanya diselenggarakan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara tanpa keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Lebih lanjut pada pasal 13 ayat (1) UU IKN ditentukan bahwa “Dikecualikan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur daerah pemilihan dalam rangka pemilihan umum, Ibu Kota Nusantara hanya melaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, dan pemilihan umum untuk memilih anggota DPD”.[5] Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Penyelenggaraan pemerintah di IKN tanpa keberadaan DPRD. Pengawasan oleh DPR RI menjadi konsekuensi logis dari kedudukan Kepala Otorita setingkat menteri dikarenakan berdasarkan fungsi pengawasan DPR RI, DPR RI berhak untuk mengawasi penyelenggaraan pelaksanaan pemerintah termasuk menteri-menteri yang membantu presiden melaksanakan pemerintahannya. Namun menjadi pertanyaan kemudian apakah DPR RI berwenang untuk mengawasi pelaksanaan penyelenggaraan satuan pemerintahan daerah setingkat provinsi?. Ketika melihat komparasi kewenangan maka baik DPRD dan DPR RI memiliki fungsi yang sama yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Namun dalam pengimplemntasian kedua tugas dan wewenang yang dimiliki oleh DPR dan DPRD berbeda sehingga tidak mampunya menjadi Lembaga untuk menjalankan checking and balances terhadap kekuasaan otorita yang ada saat ini.

Selanjutnya dari pengaturan Kepala Otorita ialah terkait prosedur pemilihan kembali kepala otorita. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU IKN ditentukan bahwa “Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dan Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat ditunjuk dan diangkat kembali dalam masa jabatan yang sama”.[6] Lebih lanjut dalam penjelasan pasal tersebut ditentukan bahwa “Mekanisme pemilihan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dan Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dilakukan berbeda dengan mekanisme pemilihan kepala daerah lainnya”. Ketentuan tersebut tidak mengatur batas maksimal seorang Kepala Otorita dapat dipilih kembali.

Kekosongan hukum tersebut dapat mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan di IKN terlebih kurangnya partisipasi-partisipasi lembaga perwakilan. Pengaturan tersebut juga memberikan konsekuensi bahwa dengan minimnya representasi rakyat dalam penunjukkan Kepala Otorita, dalam peraturan a qou juga bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dianut di Indonesia, dan pemiilihan Kepala Otorita berpotensi menimbulkan executive heavy karena pemilihan yang tidak demokratis, dipilih oleh Presiden dengan berkonsultasi dengan DPR. Adanya frasa ‘berkonsultasi’ dapat diartikan hanya sebuah rekomendasi yang tidak mengikat dan berpotensi menimbulkan adanya executive heavy yang berujung kepada penyalahgunaan kekuasaan.

Executive heavy terjadi bilamana kekuasaan eksekutif yang terlalu mendominasi, berpotensi besar menciptakan abuse of power dalam pemerintahan, “The abuse of power can impact corrupt behavior, collusion and nepotism.”[7]Kekuasaan eksekutif yang terlalu mendominasi, berpotensi besar menciptakan abuse of power dalam pemerintahan.[8] Pola executive heavy dalam pemerintahan yang pernah terjadi dalam politik hukum Indonesia diantaranya:[9]

1) Dapat dipilih kembali tanpa batas.

2) Tidak adanya kontrol legislatif maupun yudikatif kepad eksekutif.

3) Eksekutif sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan dan sangat sedikit peran dan fungsi legislatif dalam pembentukannya.

4) Tidak berfungsinya fungsi kontrol lembaga legislatif terhadap eksekutif sehingga tidak dapat melakukan impeachment

Dari pola executive heavy diatas dapat kita lihat bahwa Sistem Otorita yang ada pada status quo jelas mengakaomodir adanya potensi executive heavy yang dapat menimbulkan adanya penyalahgunaan kekuasaan.

Ada setidak 3 Rekomendasi yang perlu dilakukan untuk menghindari adanya potensi executive heavy:

a. Mengembalikan keberadaan fungsi pengawasan pemerintahan otorita oleh lembaga-lembaga perwakilan rakyat seperti DPRD IKN atau merevisi ketentuan dalam UU MD3 dengan memberikan kewenangan kepada DPR RI untuk melakukan pengawasan terhadap Kepala Otorita yang merupakan lembaga setingkat menteri.

b. Melakukan harmonisasi pengaturan terkait mekanisme penunjukkan kepala otorita yang demokratis sesuai dengan amanat UUD 1945 dan batas maksimum kepala otorita yang sama dapat ditunjuk kembali.

c. Merubah frasa “konsultasi” sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Ayat (1) UU IKN menjadi “persetujuan”.

[1] Ervin Nugrohosudin, “Kedudukan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara,” Jurnal Legislatif 5. no 2 (2022): 80, doi: https://doi.org/10.20956/jl.v5i2.21002

[2] https://www.hukumonline.com/berita/a/pengaturan-sistem-otorita-dalam-uu-ikn-dinilai-langgar konstitusi-lt61e92c59b51e0 . Diakses pada tanggal 30 Desember 2023

[3] Republik Indonesia, UUD 1945, Pasal 18

[4] Aidil,M., Agustin, K., Prayogo, D.A., Aditama, E.K., & Wicaksono, G. (2022). Konstitusionalitas Otorita IKN Ditinjau dengan Metode Penafsiran Berdasarkan Original Intent

[5] UU No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara

[6] Ibid.

[7] Bambang Riyadi, “Culture of Abuse of Power in Indonesia from the Perspective of Criminology and Law”, International Journal of Criminology and Sociology 9 (2020):274–284, doi: https://doi.org/10.6000/1929-4409.2020.09.26

[8] Moh. Mahfud MD, dalam Khulaifi Hamdani dan Ulvi Wulan ,2022, “Rezim Executive Heavy Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Ibu Kota Nusantara,” Jurnal Legisatif 2, no.5(2022) doi: https://doi.org/10.20956/jl.v5i2.21349

[9] Miriam Budiardjo, dalam alam Khulaifi Hamdani dan Ulvi Wulan, “Rezim Executive Heavy Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Ibu Kota Nusantara,” Jurnal Legisatif 2, no.5 (2022) doi: https://doi.org/10.20956/jl.v5i2.21349

--

--

Meriam Debating Club Fakultas Hukum USU
Meriam Debating Club Fakultas Hukum USU

Written by Meriam Debating Club Fakultas Hukum USU

UKM Debat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

No responses yet